Minggu, 04 November 2018

Pesantren Salafi



Pesantren Salafi
Karya: Lilis Dita Nur Azizah

            Tak habis pikir, karena kesalahan yang kubuat dan menurutku sangat biasa. Ternyata menurut kedua orangtuaku itu adalah kesalahan yang sangat fatal. Malam itu rasanya aku ingin ditenggelamkan saja dari muka bumi ini atau langsung menyuruh malaikat Izrail mencabut nyawaku. Hanya ada dua pilihan untukku sekarang, masuk ke pesantren atau aku akan direhabilitasi. Itu berarti aku terkurung seperti burung di dalam sangkar.
“Apa yang kamu lakukan di luar sana sangat mengecewakan Ayah dan Ibumu...!! Ternyata selama ini Ayah salah menilaimu, kupikir kamu sering keluar malam layaknya anak laki-laki pada umumnya,” bentak ayah dengan berdiri tegak sambil menunjuk-nunjuk wajahku.
Tubuhku langsung gemetar ketika ayah membentakku, aku menunduk.
“Maafkan aku Yah..!! Aku tertekan dengan semua ini, Ayah selalu menyuruhku ngaji, sholat, puasa, aku juga ingin bebas seperti teman-temanku yang lain Yah...!” kataku sedikit mengeraskan suara.
“Kamu sudah baligh, seharusnya kamu tahu mana yang hak dan mana yang bathil. Aku sangat kecewa padamu, selama ini kamu tidak bisa menjadi tangan kanan kedua orang tuamu,” ayah terus membentakku tiada henti, rahangku mengeras mencoba meredakan gejolak amarah.
“Sudah Ayah... jangan terus membentak Salafi, dia juga anak kita. Dan kamu salafi, seharusnya kamu tidak terus-terusan melawan Ayah” ucap ibu melerai perdebatan kami.
“Terserah Ayah dan Ibu..!! Silahkan ceramah sepuasnya,” kataku mengakhiri pertikaian ini.
            Aku pergi dari ruang tamu karena muak mendengar suara Ayah, aku menuju ke kamar dan melihat Salwa dan Zeina adikku sedang mengintip apa yang barusan terjadi. Seketika mereka menutup pintu kamar melihat kedatanganku.
“Ibu sependapat dengan Ayahmu, Ibu fikir ini adalah waktu yang tepat untuk mengirimmu ke pesantren atau tempat rehabilitasi,” ucap ibu.
Kuhentikan langkahku dan berbalik badan. Aku tidak menyangka bahwa ibu setega itu terhadapku.
“Apa-apaan sih bu, apa yang Ibu ucapkan itu tidak masuk akal,” ucapku kesal.
“Nak, Ibu rasa pesantren adalah jalan keluar untukmu. Ibu yakin disana kamu akan berubah,” lanjut ibu berusaha meyakinkan.
“Terserah Ibu mau ngomog apa, yang jelas aku bahagia dengan hidupku sekarang ini,” jawabku ketus.
“Nggak usah bantah! Kamu tahu rasanya gagal mendidik anak itu seperti apa?! Haa..!!?? Sakit nak. Sakit dan kecewa. Ibu dan Ayah sangat malu,” ucap ibu dengan emosi sambil menahan tangis.
“Ayah dan Ibu sama aja, nggak ngerti mauku.. !!” bentakku dengan kesal sambil menutup pintu kamar.
 Memang aku berbeda dengan yang lain, semua keluargaku adalah orang yang taat beragama, bahkan Ayahku saja orang yang disegani masyarakat, sedangkan Ibuku lahir dari keluarga yang sudah terjamin hidupnya.
Sebelum raja siang menampakkan hidungnya, tiba-tiba aku terbangun karena mendengar suara dari arah almari, suara itu  merusak mimpiku. Saat membuka mata, ternyata sudah ada dua manusia menyebalkan dengan dua koper besar. Langsung saja kuhampiri dua orang itu, lalu kurebut koper itu dan isinya kumasukkan lagi kedalam almari.
“Eh.. eh.. kenapa dimasukkan ke almari lagi bajunya..?!” kata Ayah kaget.
“Apa hak Ayah menanyakan hal itu kepada ku? Ini bajuku terserah mau aku apain...!!” ucapku jengkel.
“Semuanya sudah Ayah urus Fi.. tinggal nanti siang  kita berangkat..!!”
“Tidak. Aku ga akan berangkat kemana-mana. Aku nggak mau kemana-mana..!!” tolakku lagi.
“Kau akan ke luar Jawa Fi.. Ayah punya kenalan dan akan kami titipkan kamu di sana. Mau nggak mau kamu harus sudah siap, pukul 12.00 kita berangkat ke bandara!!” kata ibu tegas.
“Nggak boleh seenaknya gitu dong Bu, Yah..!!” kataku keras kepala.
“Sudah, kali ini nurut sama Ibu dan Ayah, demi kebaikanmu juga , Ingat! masa depanmu masih panjang,” kata ayah tak kalah tegas.
            Setelah mereka keluar dari kamarku, aku bingung mau ngapain dan harus ngapain. Seketika dunia ku hancur gara-gara keputusan mereka. Sekarang keadaan sedang memojokkanku, aku dipaksa harus kepesantren, ninggalin semua aset yang aku punya, bahkan HP saja di pesantren nggak boleh bawa.. hfftt.. sangat menyebalkan sekali.
            Pukul 12.00 aku berangkat ke bandara hanya dengan Ayah dan Ibu. Di perjalanan aku hanya diam, tanpa sepatah kata. Selang beberapa menit, kami sampai di bandara, ibu hanya bisa mengantarkan sampai depan bandara.
“Nak.. bukannya Ibu dan Ayah mengusir kamu dari rumah, tapi ini demi kebaikanmu agar masa depanmu  tertata rapi,” kata Ibu dengan berkaca-kaca.
Aku hanya diam, mendengarkan apa yang dikatakan ibu. Tak berani memotong pembicaraannya.
“Bukan juga Ibu dan Ayah tak sanggup lagi mendidik dan mengurusmu. Ibu dan Ayah mempercayakan kamu di pondok untuk menuntut ilmu, belajar arti kehidupan,” sambung Ibu.
            “Ayo kita berangkat, sudah waktunya check in, pamitlah dengan Ibu baik-baik,” kata ayah membuyarkan lamunanku.
Ibu sudah menangis dari tadi. Lalu kusalimkan tanganku ke Ibu dan berkata “Bu, aku pamit Assalamu’alaikum,” hanya itu yang bisa aku katakan padanya.
“Iya nak, kamu hati-hati di sana, ingat pesan Ibu baik-baik, jangan kecewakan kami untuk yang kedua kalinya, ”aku hanya menganggukkan kepala.
 Aku dan ayah segera masuk ke ruang tunggu, “Pesawat garuda dengan nomor penerbangan 003 tujuan surabaya akan segera take off,” terdengar suara pemberitahuan dari pihak bandara.
“Ayo kita naik pesawat,” ucap ayah, aku hanya mengangguk mengiyakan ucapannya. Di dalam pesawat aku hanya diam dan memandangi orang yang berlalu-lalang.
            Pukul 15.00 aku sampai di Surabaya, ayah langsung mengajakku berangkat lagi ke Jombang tempat aku akan dipondokkan. Sampai di sana kami disambut oleh salah satu santri pondok itu, dan diantar ke rumah kiayinya. Kelihatannya ayah sangat dekat dengan kiayi itu, aku hanya diam tak bergeming mendengarkan obrolan mereka. tiba-tiba kiayi bertanya kepadaku “Asmone sinten lee..?” katanya, aku kaget dan bengong tidak tahu maksud dari ucapannya.
 lalu ayah menyenggolku dan berbisik “Kamu ditanya Abah yai, namamu siapa nak?”
“Muhammad Salafi”, jawabku dengan mantap. Kiayi itu hanya manggut-manggut. Setelah Ayah memasrahkanku kepada kiyai itu. Ayah pamit mengundurkan diri dan mengantarkanku masuk ke pondok.
“Setelah ini Ayah mau pulang ke Jogja, jaga dirimu baik-baik. Jangan sampai kecewakan Ayah lagi nak. Tujuan kami memondokkanmu agar kelak kamu bisa menjadi imam keluarga yang sholih dan membawa keluargamu selamat dunia akhirat,” tutur ayah dengan lembut.
“Yah, tapi aku nggak bakal betah tinggal di sini, nggak ada HP, motor, mobil. Terus akuu..” belum selesai aku berbicara ayah langsung memotong.
“Mungkin kemarin hidup kamu serba mudah, tapi disini sekedar mandi dan makan saja harus antri dikejar waktu. Harus pandai-pandai membagi waktu Fi.”
“yah, seharusnya aku nggak disini, aku masih 18 tahun,” eluhku
“Ayah sudah menitipkanmu pada Kyai Amirullah, percayalah, apa yang kau pelajari saat ini di pondok itu bekal terbaik untuk hidupmu kelak. Sudah, masuklah kekamar ayah akan pulang, Assalamu’alaikum.”
            Hati ini terasa kropos ditinggal sendirian tanpa mengenal siapapun. Kujawab salam ayah dan kucium tangannya sebelum pergi. Aku melangkah menuju kamar yang sudah disediakan oleh pengurus pondok. Oh iya, aku baru tahu kalau pondok ini bernama pondok Darunnajah. Aku tidak tau apa yang akan terjadi denganku hari ini, aku sungguh tak mengerti apapun. Dalam ilmu umum aku bisa dibilang paling pandai, tapi ilmu agama sedikitpun tak ku mengerti, di rumah aku  berlagak faham agar ayah yakin kepadaku, tapi itu malah membuatku tertekan.
            Jadwal kegiatan pondok sudah ada di tanganku sejak tadi, terlihat sangat padat sekali kegiatan pondok ini, hingga mandi saja ada jadwalnya sendiri. “Kang, monggo sholat jamaah maghrib rumiyen, sampun dirantos Abah,”[1] ucap seorang laki-laki menepuk pundakku, aku kaget.
“Iyaa, nanti Aku nyusul,” sahutku sedikit malas. Sebenarnya aku tidak terlalu mengerti apa yang diomongin, yang jelas ini waktu sholat maghrib, dan dia berjalan kearah masjid. Aku masih malas untuk sholat, rasanya capek dan ingin tidur. Kurebahkan tubuhku diatas kasur, hingga terlelap. Antara sadar dan tidak, tiba-tiba ada yang menyabet punggungku dengan sajadah, secara otomatis aku terjingkat kaget dan langsung berdiri. “Yang lain sholat, kamu kenapa enak-enakan tidur disini?!” katanya dengan nada tinggi.
“Aku sangat  ngantuk, sholat nanti kan juga bisa, lu kenapa sewot ?!” balasku tak mau kalah.
Lalu dia menyeret kerah bajuku dan membawaku dihadapan kyai. Saat berjalan melewati lorong kamar, semua mata tertuju pada kami yang sedang ribut.
 “Wonten nopo kang.. kok geret-geretan,?” kata abah dengan nada yang sangat lembut sekali.
 Pengurus itu menundukkan kepalanya, aku ikut menundukkan kepala juga. “Niki abah, santri enggal wau sonten mboten purun sholat jamaah, sampun diperingatkan malah membantah,” kata pengurus itu, rasanya aku ingin menampar pipinya.
“Kamu salafi? besok sore setelah jamaah sholat ashar ngaji didepan ndalem[2] sampai adzan maghrib dengan berdiri,” Kaget sumpah, baru masuk pondok saja sudah apes.
 “Tapi bah, kan aku masih baru,” Balasku tak terima.
“Satu minggu harus sudah khatam,” Sambung abah, lalu meninggalkan kami.
Mau ku kejar tapi tanganku masih dipegang pengurus sialan “Eh.. apa lu pegang-pegang, lepasin nggak?” kataku kasar.
“Nurut atau takziran aku tambahi kang? Kalau bicara itu yang sopan,” katanya dengan santai.
“Takziran itu apa lagi?” tanyaku dengan malas.
“Ya itu tadi hukuman kang,” jawabnya dengan sedikit senyum busuk. Benar-benar ingin aku tonjok saja mukanya.
           Tiga hari takziran berjalan dan aku mandi hanya satu kali, karena waktunya kubuat takziran. Lelah banget, sumpek juga selama ini tidak bisa melihat dunia luar dan terus dikurung dengan dinding-dinding besar. Tubuhku rasanya kering kerontang, tidak nafsu makan ketika melihat senampan buat makan bareng.
            Takziran terakhir di ndalem nggak sengaja ketiduran ketahuan abah, dan dibangunin. Abah menyuruh masuk ke ndalem untuk makan bersama. Dalam hati rasanya senang sekali bakal makan enak, ternyata sama saja lauknya tempe goreng sama sambel. Selesai makan aku sedikit dapat pencerahan dari abah.
“ Le.. tirakat itu juga perlu,” kata abah tiba-tiba.
 “Tirakat itu apa bah?” tanyaku polos.
“Menahan hawa nafsu le, bisa dilakukan dengan sholat berjamaah, manaqib, puasa sunnah, dan lain-lain,” jelas abah.
menurutku ini sangat berat sekali. Tapi beliau terus meyakinkanku, padahal beliau juga tahu masalaluku dari ayah yang suka balapan liar, ugal-ugalan dijalan sampai pada akhirnya aku kecelakaan, kaki kanan ku mengalami patah tulang yang cukup parah, dan tangan ku mengalami luka-luka. Teman-temanku langsung melarikanku ke rumahsakit dan ditinggal sendirian agar tidak mengundang kecurigaan keluargaku. Setelah sembuh, teman-temanku mengenalkanku dengan minum-minuman yang ber alkohol, aku jadi sering pulang pagi, dan mengundang kecurigaan ayahku. Pada suatu malam ayahku memergoki diriku yang sedang berkumpul dengan teman-teman, ayahku melihat dimeja ada banyak botol-botol miras. Langsung saja aku diseret ayah masuk mobil dan dibawa pulang.
 “Jadikan masalalumu sebagai pelajaran dimasa depan,” tutur abah, aku hanya menunduk malu.
            Tiga tahun berlalu, dulu aku berpikir bahwa dipondok akan membuatku jenuh, ternyata banyak pelajaran berharga yang belum pernah aku dapat. Sekitar satu tahun yang lalu aku terserang penyakit kulit, Sangat menjijikkan sekali, diobatkan kemanapun nggak sembuh-sembuh, kata abah ini menjadi "ujian" pertama bagi santri, apakah nantinya ia akan betah tinggal di pesantren atau tidak, hanya waktu yang bisa menyembuhkannya, hingga badan kebal dan penyakit merasa bosan sendiri. Dan apa yang dikatakan abah betul sekali, lambat laun sembuh-sembuh sendiri. Dan yang membuatku betah disana adalah karena nasihat-nasihat kyai, menyejukkan hati dan sangat bermakna. Sedikit-sedikit aku juga bisa berbahasa jawa dengan lancar, lebih fashih membaca Al-Qur’an, tertib jamaah, puasa sunnah senin-kamis juga sering ku lakukan. Pokoknya apa yang diperintahkan kyai kepadaku langsung ku kerjakan “Sami’na wa atho’na”[3]
            Dan yang paling tidak ku sangka sekarang aku malah menjadi pengurus keamanan yang tugasnya mengoprak-ngoprak[4] santri. Untung saja aku sudah tidak seperti dulu, santri mbedadok. Kalau masih seperti itu, pasti santri-santri yang lain aku ajak tidur saja atau kabur dari pondok. Dulu aku pernah kabur lewat pintu belakang pondok yang sangat kecil. Akhirnya aku merasakan bebas bisa melihat bintang-bintang, dan merasakan dinginnya malam. Tak kusangka, saking indahnya malam itu, aku berjalan dengan terus menatap langit, hingga sebuah mobil box menabrak diriku hingga tak sadarkan diri. Tersadar dari kecelakaan itu, ternyata aku berada didalam kantor pondok. Apes sekali, setiap mau melakukan tindak kejahatan selalu ada saja yang menghalangiku. Dan pada akhirnya aku pasrah, mungkin ini adalah jalanku, takdirku.
           Sore setelah sholat ashar aku  duduk diserambi masjid untuk istirahat sejenak sambil berdzikir pada Allah, tiba-tiba dari kejahuan ada yang memanggilku “Kang.. kang.. ditimbali abah, diutus ke ndalem sekarang,” aku memicingkan mata, melihat siap yang memanggilku, ternyata itu adalah kang Ghozali, yang dulunya pernah berseteru denganku gara-gara sholat bejamaah. Langsung saja aku bergegas ke ndalem. Kuucapkan salam kemudian aku masuk “Wa’alaikumsalam, monggo pinarak Fi, ada yang mau diomongin,” abah menyahut salamku dan aku duduk. Duduk dibawahnya dengan posisi duduk tawarruk, menundukkan kepala, pandangan fokus kebawah, mendengarkan dengan ta’dhim apa yang dikatakan beliau, dan tak berani memotong pembicaraan sampai selesai.
“Le.. panjenengan tak ijazah i, menghafal kitab alfiyah ibnu malik 1002 nadhom purun?”
subhanallah, mendengarnya saja sudah merinding, seorang Salafi yang mondoknya saja begajulan di ijazahi manghafal kitab alfiyah, antara takut dan bangga. Takut tidak bisa mengamalkan isi kitabnya dan bangga karena ini permintaan kyai.
“ Ngapunten bah, kulo mboten pinter nahwu, amargi kulo jarang masuk kelas,” ucapku dengan tetap menundukkan kepala.
“Westo ojo wedi, lakonono opo seng tak perintah kanti ikhlas,” kata abah dengan lembut.
“Injih abah, sendiko dawuh,” ucapku.
            Sekarang aku harus benar-benar pandai memanage waktu, sebelum shubuh untuk menghafal, pagi hari untuk meneliti atau mengkaji, siang hari untuk menulis, dan malam hari untuk mengulang pelajaran. Sering juga aku tidak mengikuti pelajaran atau kegiatan pondok karena sedang ditimbali[5] untuk membantu pekerjaan kyai, beres-beres ndalem, kadang juga meladang, sampai memasak makanan untuk kyai. Kelihatannya capek, tapi jika dilakukan dengan hati ikhlas berharap mendapatkan barokah dari kyai, pekerjaan itu akan menjadi sangat enteng, bahkan ada perasaan bangga bisa diutus kyai. Pengurus juga santri biasa sama halnya dengan santri-santri yang lain, bedanya pengurus diberi amanah langsung oleh kyai untuk membantu berjalannya kegiatan pondok. Pengurus yang lalai atau tidak mengikuti kegiatan dengan alasan yang tidak jelas  juga mendapatkan takzir dari kyai. Tapi yang tadi beda, karena ditimbali adalah perintah kyai maka santri yang ditimbali tadi mendapat bonus tidak ditakzir.
            Tak terasa aku sudah lama sekali tinggal dipondok, dan jarang pulang. Seperti liburan kali ini, aku memilih tetap di pondok dan menyicil hafalan. Aku mendapatkan tugas tambahan seperti qodam ndalem, menyapu di pagi hari, membersihkan kandang ayam, berangkat ke sawah menjelang  siang dan pulang ketika waktu ashar. Setelah ba’da ashar biasanya berlanjut dengan masak untuk keluarga ndalem.
Selama aku berada di ndalem, aku sering mencuri pandang kepadanya, dia adalah putri abah yang bernama Syaza Al-Mumtazah, nama yang istimewa. Sosok gadis yang berperawakan lembah lembut, sholihah dan menjadi idaman semua santri. Aku tidak yakin, santri begajulan sepertiku bisa mendapatkan putri kyai. Tapi aku tidak akan menyerah begitu saja, selalu kusebut namanya setiap kali berdo’a. Aku jarang ngobrol dengannya, sekali ngobrol itupun membahas soal yang penting.
            delapan tahun aku disini, waktu berjalan dengan cepat, begitu juga dengan Alfiyahku, Alhamdulillah khatam dengan waktu satu setengah tahun.
“Kalau jadi santri jangan terus memikirkan kalau nanti sudah boyong akan jadi apa dan mau jadi apa?” kudengarkan dawuh[6] abah dengan ta’dhim.
“Tenanglah... engkau tidak akan tahu dijalan mana kebahagiaan itu tersembunyi, namun yakinlah allah akan mengantarkanmu padanya,” tutur abah waktu aku mengkhatamkan alfiyah.
“Abah juga tahu bahwa sekarang ini kau sedang memendam perasaan dengan seseorang,” ucap abah dengan wajah tenang.
Sedangkan aku? jantungku sudah mau copot mendengar kalimat itu, rasanya malu sekali. Kepalaku semakin menunduk kebawah.
“Nggak usah malu le.. toh ini sudah waktunya kamu untuk memikirkan hal ini, jika kau benar-benar mencintainya, bawalah keluargamu kesini untul melamar Syaza, Abah ridho Fi.” Tutur Abah dengan lembut.
Tak kusangka, Abah mengerti akan perasaanku. Akhirnya kapal ini menemukan tempat untuk berlabuh. Ku kecup tangan Abah dengan ta’dhim.
“Sungguh, Maha suci Allah atas segala rohmat-Nya,” batinku dalam hati.
            Aku berjalan menuju dapur, tak sengaja disana ada ning Syaza, kutundukkan pandangan.
“Assalamu’alaikum calon imamku,” ucap ning syaza dan langsung lari menuju kamar. Aku terkejut dan terpana sejenak.
“Wa’alaikumsalam calon bidadari surgaku” jawabku lirih disertai derai tawa kecil.


[1] “Kang, ayo sholat maghrib dulu, sudah ditunggu abah”
[2] “tempat tinggal pengasuh pondok”
[3] “kami dengar dan kami taat”
[4] “menertibkan santri saat akan diadakan kegiatan”
[5] “bahasa ketika dipanggil pengasuh”
[6] ucapan

18 komentar:

  1. Like your history,
    Semangat maklis💪

    BalasHapus
  2. Bagus kak cerpennya 😸 buat motivasi

    BalasHapus
  3. Bagus sekali kak.. Menginspirasi😋

    BalasHapus
  4. It's very interesting i think.

    BalasHapus
  5. Keren kak.. Endingnya bikin baper 😅

    BalasHapus
  6. Menginspirasi banyak orang 👍😉

    BalasHapus